Dua Keinginan
oleh Khalil
Gibran
Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke
bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh
penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang
dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang
lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna
menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah
pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah
istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah
ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan
ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan
suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan!
Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau
masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya
rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal
untuk mencincangmu menjadi kepingan!"
Kemudian
Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah
kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan
dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika
pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku?
Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh
taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar
menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."
Setelah
diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak,
tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena
rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang.
Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan
tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum
terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku
memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum
tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku
punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi
: Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah
dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang
tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya,
dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia
mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di
mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya,
anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya,
ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang
Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat
harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak
kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan
kebenaran. Jangan tinggalkan daku."
"Aku
telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau
telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri.
Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir
yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika
ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam
bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang
sampai ke Keabadian itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar