Jumat, 06 April 2012

Tulisan 4

     PERPU PERSAINGAN, MONOPOLI, DAN EKONOMI ISLAM

            Dalam ekonomi konvensional, praktek monopoli biasanya dikecam sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat. Di Amerika Serikat, misalnya, sejak 1890 telah diberlakukan Sherman Act yang menyatakan setiap usaha monopoli atau usaha megontrol perdagangan adalah ilegal. Kemudian diikuti oleh Federal Trade Commission Act dan Claytion Act  (1914), Robinson-Patman Act (1936), Celler-Kefauver (1950), Hart-Scott-Rodino (1976), dan seterusnya.
            Meskipun demikian, toh AS memberikan pengecualian untuk beberapa jenis industri seperti pertanian dan perikanan, serikat buruh, asosiasi ekspor, radio dan televisi, transportsi, lembaga keuangan, dan basebal. Sikap mendua ini tidak aneh karena dalam teori konvensional juga dikenal monopolis, yang dibenarkan, misalnya natural monopoly seperti PLTA yang memerlukan investasi sangat besar . Karena itu sektor ini perlu dilindungi dari masuknya pesaing baru.
            Dalam ekonomi Isalm tidak dikenal sikap mendua itu. Siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain.
            Jadi, monopoli sah-sah saja. Namun, siapa pun dia tidak boleh melakukan ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi atau istilah ekonominya monopolistic rent. Inilah indahnya Islam : monopoli boleh, monopolistic rent tidak boleh. Bersumber dari Said bin Musayyab dari Ma'mar bin Abdullah Al-Adawi bahwa Rosulullah s.a.w. bersabda : " tidaklah orang yang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa " (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
            Berlainan dengan teori ekonomi konvensional, ketika monopoli menentukan harga pada saat biaya marginal sama dengan pendapatan marginal (MC=MR) ini berarti ia akan menjual lebih sedikit barang karena tidak ada penjual lain dengan harga yang lebih tinggi. Keuntungan berlebihan ini dapat digunakan untuk menghalangi pesaing baru, misalnya berkolusi dengan pemberi izin usaha atau pembuat aturan atau menciptakan halangan lain yang bersifat teknis bisnis. Bukan mustahil kalangan bisnis tertentu  yang menekan pemerintahan Amerika dalam menentukan ketujuh industri yang dikecualikan di AS itu.
            Dalam ekonomi Islam, orang yang memonopoli menentukan harga saat biaya marginal sama dengan pendapatan rata-rata (MC=AR) atau lebih lazim dikenal pada saat penawaran sama dengan permintaan. Lihatlah misalnya hadits dari Abu Huairah bahwa Rasulullah bersabda : " Barangsiapa yang melakukan ikhtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam maka ia berdosa " (HR Ibnu Majah, Ahamad).
            Lebih jauh lagi, karena Islam membolehkan siapapun memasuki bisnis apa saja yang halal, maka tidak dikenal adanya halangan masuk bagi pesaing baru. Dengan masuknya pesaing-pesaing baru, penawaran akan semakin banyak sehingga si penjual tidak lagi menentukaan harga pada saat biaya marginal sama dengan pendapatan rat-rata (ATC=AR). Artinya, ia akan tetap menjual selama biaya yang dikeluarkannya akan ditutup oleh pendapatannya.
            Jelaslah, Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindingi hak keduanya atau istilah fikihnya " haqqal ghair muhafazdun 'alaihi syar'an ". Inilah yang kita harapkan dari perpu persaingan, hak seseorang untuk berbisnis dibuka lebar tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah sekaligus melindungi hak orang lain. Dengan demikian pemerintah berfungsi " tasarruf al-imam 'ala arra'iyah manutun bi al-maslaha " (selalu mengacu pada kemaslahatan orang banyak) tanpa harus bersikap mendua.

                 
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar